SEJARAH AL-QUR’AN DI INDONESIA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah
penulisan al-Qur’an memiliki peranan penting dalam menceritakan kisah-kisah
perjalanan panjang proses penulisan kitab suci ini yang dimaksudkan agar
memudahkan pembacanya dalam mentilawah ayat demi ayatnya. Termasuk bagaimana
seorang khattat yang menulis mushaf al-Qur’an dalam memilih jenis khat yang
akan digunakan agar jelas dan terang bacaannya. Selain itu, keperluan kaum
muslim akan mushaf al-Qur’an sangat tinggi, sehingga penting bagi umat muslim
untuk mengetahui bagaimana sejarah penulisan maupun pencetakan al-Qur’an itu
sendiri, khususnya bagi umat muslim di Indonesia. Sebab sebagai umat muslim
sudah seharusnya mempelajari segala hal yang berkaitan dengan kalamullah yang
dijadikan sebagai petunjuk dalam kehidupannya termasuk mempelajari sejarahnya.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Sejarah al-Qur’an
di Indonesia?
2.
Bagaimana Perkembangan Metode Penulisan Mushaf al-Qur’an di Indonesia?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Al-Qur’an
di Indonesia dalam Lintasan Sejarah
Penulisan
al-Qur’an di Indonesia diperkirakan telah ada sekurang-kurangnya sejak sekitar
akhir abad ke-13, ketika Pasai, Aceh, di ujung laut pulau Sumatra, menjadi
kerajaan pesisir pertama di Nusantara yang memeluk Islam secara resmi melalui
pengislaman sang raja.[1]
Penyalinan al-Qur’ansecaratradisionalterusberlangsungsampaiakhirabad
ke-19 atauawalabad ke-20 yang
berlangsungdiberbagaikotaatauwilayahpentingmasyarakat Islam masalalu, seperti
Aceh, Padang, Pelembang, Banten, Cirebon, Yogyakarta, dan lain lain.
Warisanmasalampautersebutkinitersimpan di berbagaiperpustakaan, museum,
pesantren, ahliwarisdankolektordalamjumlah yang banyak.Meskipundemikian,
tidakditemukan al-Qur’an dariabad ke-13 itu, dan al-Qur’an tertua di Nusantara
yang diketahuisampaisaatiniberasaldariakhirabad ke-16.[2]
Menurut
sejarahnya di Nusantara, mushaf al-Qur’an cetakan tertua berasal dari
Palembang, hasil cetak di atas batu (litografi)
oleh Haji Muhammad Azhari bin Kemas Haji Abdullah, selesai ditulis pada 21
Ramadhan 1264 (21 Agustus 1848).[3]Sejauh yang
diketahuihinggakini, inilahmushafcetakantertua di Asia Tenggara.Peninggalan
yang diketahuisampaisaatinihanyaadapadakoleksiAbdAzim Amin, Palembang, Sumatera
Selatan. Makasejakpertengahanabad ke-19, mengawaliteknologicetakmushaf di
Nusantara, pada 1848 di mana Muhammad
Azharitelahmenulisdanmencetakmushafuntukpertamakalinya di
kawasanini.Berdasarkanbukti yang ada, beliaujugamenyalinmushaflainnya,
danselesaidicetakpadatahun 1854. Di antarapenulisnyaialah Muhammad Hanafi bin
Sulaiman al-Sumbawidan (mungkin orang yang sama, ataubersaudara) Haji Muhammad
bin al-MarhumSulaimanSumbawi.
Mushaf cetakan Azhari lainnya
tetap terus meluas penggunaannya, dengan tahun yang lebih muda, selesai dicetak
pada hari Senin, 14 Dzulqa’dah 1270 H (7 Agustus
1854) di Kampung Pedatu’an, Palembang. Von de Wall,
seorangkolektornaskahabad ke-19, pernahmembuatcatatanlengkapmengenaimushafiniataspermintaanPresidenBelanda di Palembang
yang dimuatdalamTBG 1857.
Berdasarkancatatantersebut, mushafcetakantahun 1854
kemungkinankiniadadalamkoleksiPerpustakaanNasionalRI Jakarta.Denganadanyacetakanmushaftahun 1854 itu, dapatdiketahuibahwapercetakanmilikAzhari,
lebihkurangsangatproduktifdalammasatujuhtahun (1848-1854).Meskipundemikian,
luasnyaperedaranmushafhasilcetakanAzhariinitidakdiketahuidenganpasti, keranakurangnya bukti yangdijumpai.Kemudianpadatahun 1947
SalimFachry,berasaldariLangkat,
Sumatera Utara, telahmenulisMushafPusakaatasperintahPresidenSoekarno.
KaryamonumentalnyainisekarangmenjadikoleksiBayt al-Quran & Museum Istiqlal,TMII,Jakarta.
Dalamgenerasi yang samamuncul pula
nama Muhammad SyadzaliSa’ad yang selesaimenyalinmushaf al-Qur’an padatahun 1973-1975
dandisahkanpadatahun 1984 sebagaiMushaf al-Qur’an standar Indonesia (Uthmani).
Muhammad Syadzalijugamenulis "Mushaf Indonesia"
ataspesananIbnuSutowo, selesaipadatahun
1979.Padamasaberikutnyamunculsatulagikaryamushaf yang ditulisolehRahmatullah
al-Dimawi (berasaldariDemak) yang diterbitkanolehPenerbit al-Syifa’ Semarang,
padatahun 2000, berupamushafayatsudut, namunmenggunakanrasmUthmani. Model mushaf “rasmUthmaniayatsudut”
sepertiitujugaditulisolehSafaruddin, berasaldariPanunggalan (Pulokulon,
Grobogan, Jawa Tengah) laluditerbitkanolehPenerbit CV. Wicaksana,
Semarang, pada tahun2001.[4]
B. Perkembangan Metode Penulisan Mushaf al-Qur’an di
Indonesia.
Berdasarkan alur perkembangan, ada
tiga periode perkembangan mushaf di Indonesia, yaitu:
1. Mushaf tulisan tangan.
Teknik
penyalinan al-Qur’an di Indonesia dimulai dari metode tulisan tangan. Periode
ini sudah dimulai sejak abad ke-13 Masehi. Hasilnya sangat banyak dan saat ini
tersimpan di beberapa museum, perpustakaan, pesantren, dan sebagainya. Menurut
hasil penelitian yang dilakukan badan Puslitbang Lektur Keagamaan Depag RI
tahun 2003-2005.[5]
Penelitian selama 3 tahun ini mencakup 18 wilayah penelitian, dengan hasil
temuan naskah semuanya sekitar 241 naskah mushaf, dari beberapa provinsi,
diantaranya: Aceh, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur,
Bali, Nusa, dan lain-lain. Mushaf kuno yang terdapat di Bayt Al-Qur’an dan
Museum Istiqlal berjumlah 29 buah, termasuk mushaf-mushaf besar, tetapi tidak termasuk
mushaf Istiqlal. Sedangkan mushaf Al-Qur’an kuno yang berusia lebih dari 50
tahun, ditulis di atas kertas Eropa ber-watermark
atau dluang, dan bertulis tangan,
sebanyak 22 buah.[6]
Beberapa
mushaf al-Qur’an Indonesia, diantaranya seperti; mushaf Al-Qur’an Aceh, kini
telah menjadi koleksi berbagai lembaga di dalam dan luar negeri. Inventarisasi
semua koleksi mushaf Aceh sementara ini berjumlah 152 mushaf.
Adapun
beberapa contoh Mushaf Nusantara lainnya, seperti: Mushaf Banten dari
Kesultanan Banten yang menonjol dalam kaligrafinya. Gaya khat yang digunakan
adalah gaya Naskhi yang kadang-kadang dekat dengan gaya Muhaqqaq, dengan ciri
huruf yang menjulur-julur. Gaya kaligrafi seperti itu dapat ditemukan baik di
Banten sendiri, maupun mushaf Banten koleksi Perpustakaan Nasional, Jakarta.
Setiap lembar berlatarkan emas dalam motif bunga, yang tampaknya dilukis dengan
teknik cap atau sablon. Latar emas ini benar-benar berpengaruh kuat, sehingga
menjadikan mushaf ini tampak mewah dan mengesankan. Semua kata “Allah” ditulis
merah. Di halaman depan terdapat kolofon yang menjelaskan bahwa mushaf ini
milik Sultan Banten Muhammad ‘Ali ad-Din ibn Sultan Muhammad ‘Arif. Namun tidak
ada petunjuk angka tahun penulisannya.
Mushaf
Kanjeng Kyai al-Qur’an, Pusaka Kraton Jogjakarta. Di keraton Yogyakarta, setiap
benda yang diakui sebagai pusaka keraton diberi sebutan “Kanjeng Kyai”. Maka
dari itu, Kanjeng Kyai Al-Qur’an adalah salah satu benda warisan berupa mushaf
al-Qur’an kuno yang selesai ditulis pada tahun 1799 (abad ke-18) di Surakarta,
Hadiningrat.[7]
Sebutan “Kanjeng Kyai Al-Qur’an” tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan orang
Jawa tentang kesaktian yang dimiliki oleh manusia, hewan, atau benda tertentu.
Qiraat yang digunakan adalah qiraat Imam ‘Ashim yang diriwayatkan oleh Imam
Hafsh.[8]
Yang
terakhir adalah Mushaf Al-Banjari. Merupakan karya Syaikh al-Banjari yang
indah, dengan hiasan dan lukisan yang sangat jarang ditemukan dalam tradisi
penulisan mushaf dunia Islam pada umumnya. Di bagian pinggir halaman dilengkapi
bacaan qiraat sab’ah. Mushaf ini merupakan salah satu kebanggaan masyarakat
Kalimantan Selatan.[9]
Menurut
informasi terbaru, mushaf tulis tangan di
Indonesiaterakhir ditulis oleh seorang Narapidana di Banyuwangi. MushafAl-Qur’an yang
diresmikan tersebut berukuran panjang 1,1 meter x 80 sentimeter serta
tebalnya 13 sentimeter. Al-Qur’an raksasa tersebut dibuat Sugiyanto (32),
narapidana kasus kekerasan terhadap anak dibawah umur yang divonis Pengadilan
Negeri Banyuwangi dengan hukuman 6 tahun penjara. Saat
menulis lembar demi lembar Mushaf Al-Quran itu, dirinya mengaku seperti mendapatkan hidayah. Sebelumnya dia
mengaku tidak bisa membaca ataupun menulis huruf hijaiyah. Namun dengan
ketekunan berlatih, dirinya dalam kurun waktu relatif cepat mampu dan sukses
menjalankan tugas “suci” yang di embannya.[10]
2.
Mushaf Cetak Mesin
Yang pertama adalah mushaf cetakan awal. Asal-usul
Qur’an cetakan awal
(early printed Qur’an) yang beredar di Asia Tenggara pada
paruh akhir abad ke-19 -berdasarkan temuan hingga kini- tidaklah banyak.
Pusat-pusat percetakan yang diketahui, yaitu Palembang, Singapura, Bombay,
serta Turki. Di antara mushaf tersebut, yang paling tua, dicetak di Palembang
pada 1848 dan 1854, hasil cetak
batu(litografi) Haji Muhammad Azhari bin Kemas Haji Abdullah, selesai dicetak
pada 21 Ramadan 1264 (21 Agustus 1848). Sejauh yang diketahui hingga kini,
inilah mushaf cetakan tertua di Asia Tenggara.Peninggalan yang diketahui sampai
saat ini hanya ada pada koleksi Abd Azim Amin, Palembang. Mushaf cetakan Azhari
lainnya, dengan tahun yang lebihmuda, selesai dicetak pada Senin, 14 Zulqa’dah
1270 H (7 Agustus 1854) di Kampung Pedatu’an, Palembang. Von de Wall, seorang
kolektor naskah abad ke-19, pernah membuat catatan lengkap mengenai mushaf ini
atas permintaan Residen Belanda di Palembang yang dimuat dalam TBG 1857. Berdasarkan catatan itu,
mushaf cetakan tahun 1854 kemungkinan kini ada dalam koleksi
Perpustakaan Nasional RI Jakarta.[11]
Cetakan lainnya, yang beredar luas di kepulauan Nusantara pada
akhir abad ke-19 adalah cetakan Singapura, Bombay, dan India.Banyak di antara
mushaf-mushaf tersebut yang memiliki kolofon (catatan naskah) di bagian
belakang mushaf, sehingga tidak ada keraguan tentang asal-usul cetakannya.
Salah satu cetakan yang belum diketahui asal-usulnya adalah mushaf berhuruf
tebal yang dari beberapa segi cukup ‘asing’.Mushaf ini diketahui di tiga
tempat, pertama di Masjid Agung Surakarta (10 jilid), Pontianak (satu jilid),
dan milik seseorang di Tangerang (10 jilid).Mushaf ini tampaknya tidak beredar
luas seperti halnya cetakan Singapura dan Bombay.
Yang kedua yaitu Mushaf Cetakan
Tahun 1933-1983. Ada sekitar 11 mushaf yang dicetak di Indonesia dalam rentang
waktu tahun 1933 sampai dengan tahun 1983 (50 tahun). Diantaranya: Cetakan
Matba'ah Al-Islamiyah, Bukittinggi, 1933, selanjutnya ada Mushaf cetakan
Abdullah bin Afif, Cirebon, 1933-1957. Ada juga Mushaf cetakan Al-Ma'arif,
Bandung 1950/1957, Sinar Kebudayaan Islam, Jakarta, 1951, Pustaka al-Haidari
Kutaraja dan Pustaka Andalus Medan, 1951-1952, Tintamas, Jakarta, 1954,
Al-Quran Bombay Menara Kudus, 1974, Qur’an Pojok Menara Kudus, 1974, Mushaf
Cetakan Penerbit Al-Ma'arif, Bandung, 1950-an, "Mushaf Indonesia"
Ibnu Sutowo, hingga Mushaf “Qur’an Kudus”, Qur’an dari Turki, yang dicetak
tahun 1970-an.
Menurut
Alhumam, sebagaimana dikutip oleh M. Ibnan Syarif, bahwa percetakan al-Quran
(dengan mesin) di Indonesia dimulai sekitar tahun 1950 oleh penerbit Salim
Nabhan dari Surabaya dan Afif dari Cirebon. Penerbit Salim berdiri pada tahun
1904. Sebelum mencetak al-Quran, penerbit Salim adalah pemasok buku-buku
berbahasa Arab.[12]
Perkembangan
selanjutnya adalah munculnya upaya-upaya untuk memelihara dan menjaga kesucian
al-Quran dari kesalahan cetak, melalui tahap pemeriksaan oleh panitia pengecek
al-Quran yaitu Lajnah Pentashih Mushaf al-Quran, yang didirikan pada tanggal 1
Oktober 1959. Untuk memperlancar tugas ini, maka Lajnah ini menerbitkan mushaf
standar. Ada tiga jenis mushaf standar, yaitu:[13]
a.
Mushaf al-Qur’an Rasm Utsmani, penetapan mushaf ini berdasarkan
mushaf Bombay, karena model tanda baca dan hurufnya telah dikenal luas oleh
umat Islam di Indonesia sejak puluhan tahun sebelumnya, bahkan sejak awal
peredarannya di Nusantara.
b.
Mushaf al-Quran Bahriyyah
yang cenderung memiliki Rasm al-Imla’i. Model
mushaf ini diambil dari mushafTurki yang memiliki kaligrafi yang sangat indah.
Jenis mushaf ini telah digunakan secara meluas di Nusantara khususnya oleh para
penghafal Qur’an, karena mushaf ini berpola 'ayat sudut' (atau 'ayat pojok'),
yaitu setiap halaman, di bagian sudut/pojok bawah-kiri, berakhir dengan
penghabisan ayat.
c.
Mushaf al-Quran Braille bagi penyandang tunanetra. Mushaf
ini menggunakan huruf Braille Arab sebagaimana diputuskan oleh Konferensi
Internasional Unesco 1951, yaitu al-Kitabah al-‘Arabiyyah al-Nafirah.
Yang ketiga yaitu Mushaf Cetakan
Tahun 1984-2003. Ada sekitar 6 mushaf yang dicetak di Indonesia dalam rentang
waktu tahun 1984 sampai dengan tahun 2003 (sekitar 20 tahun) diantaranya adalah
: Mushaf al-Quran Standar Indonesia, 1973-1975, Mushaf Al-Quran Standar
Indonesia (Bahriyah), 1991, Mushaf al-Quran Bombay Terbitan PT Karya Toha
Putra, 2000, Mushaf Al-Quran Karya Ustad Rahmatullah, 2000, Mushaf Al-Quran
karya Safaruddin, 2001, dan Qur'an terbitan Karya Insan Indonesia, Jakarta, 2002.
Yang keempat yaitu percetakan
mushaf yang berlaku hingga sekarang, yaitu Mushaf Cetakan Tahun 2004-Sekarang.
Setelah terbitnya Mushaf Standar, para penerbit mushaf dasawarsa 1980-an hingga
awal dasawarsa 2000-an pada umumnya masih meneruskan tradisi lama dalam
memproduksi mushaf. Era baru dalam produksi mushaf mulai muncul sejak awal
dasawarsa 2000-an, ketika teknologi computer semakin maju. Sejak saat itu, para
penerbit memodifikasi kaligrafi Mushaf Madinah yang ditulis oleh khaththath
‘Usman Thaha. Jenis tulisan karya kaligrafer asal Syiria itu terkenal cantik
dan indah.Penerbit mushaf pertama yang memodifikasi kaligrafi ‘Ustman Thaha
adalah penerbit Diponergoro, Bandung.[14]
Perkembangan selanjutnya dapat dilihat dari kreasidengan memberi
warna khusus, tidak hanya kata “Allah” atau “rabb”, tetapi penandaan terhadap ayat-ayat atau surat-surat
tertentu. Misalnya, ayat-ayat yang berisi doa, ayat sajadah, dan ayat-ayat
tentang perempuan. Sebuah penerbit di Bandung menandakan ayat-ayat khusus
tentang perempuan dengan warna pink, sementara ada penerbit lain yang memberi
warna merah. Pewarnaan pada teks al-Qur’an juga dilakukan terkait dengan
tajwid. Dengan maksud menuntun para pembaca al-Qur’an yang masih awam terhadap
ilmu tajwid, sebagian penerbit lagi berinovasi dengan memberi warna tertentu
terkait hukum bacaan dalam ilmu tajwid. Pewarnaan itu dimaksudkan sebagai kode
atau tanda agar pembaca senantiasa ingat hukum bacaan tertentu dengan melihat
kode warna tersebut. Teknik pewarnaannya ada yang menggunakan blok, arsir, atau
warna hurufnya itu sendiri dan sebagainya.[15]
Selanjutnya, penerbit juga menambahkan kertas pembatas, uraian
makhraj huruf, ayat-ayat sajadah, kertas doa sujud tilawah, al-ma’tsurat,
asbabun nuzul, tafsir, hadis dan sebagainya. Perkembangan ini juga kian
mewarnai ke dunia anak-anak. Sebagai contoh, penerbit Mizan menerbitkan I Love
My Quran, sebuah al-Quran dan terjemahan dalam satu set, dengan ilustrasi yang
unik bagi anak-anak.
Para penerbit terus berkreasi dan berinovasi dalam menawarkan
keunggulan masing-masing mushaf. Jika dulunya pernah ada produk mushaf
al-Qur’an dan terjemahannya dengan “7 in 1”, belakangan ini ada juga yang
membuat produk mushaf dengan “22 in 1”. Keunggulan-keunggulan yang ditawarkan
diantaranya: terjemahan tafsiriyah, kata kunci, kosakata, tajwid, hadis, tafsir
beberapa mufassir, asbabun nuzul, dan seterusnya hingga mencapai 22 butir.[16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Penulisan
al-Qur’an di Indonesia diperkirakan telah ada sekurang-kurangnya sejak sekitar
akhir abad ke-13, sedangkan penyalinan al-Qur’an secara tradisional terus
berlangsung sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Menurut sejarahnya di
Nusantara, mushaf al-Qur’an cetakan tertua berasal dari Palembang, hasil cetak
di atas batu (litografi) oleh Haji
Muhammad Azhari bin Kemas Haji Abdullah, selesai ditulis pada 21 Ramadhan 1264
(21 Agustus 1848). Kemudian pada tahun 1947 Salim Fachry, berasal dari Langkat,
Sumatera Utara, telah menulis Mushaf Pusaka atas perintah Presiden Soekarno.
Muncul pula nama Muhammad Syadzali Sa’ad yang selesai menyalin mushaf al-Qur’an
pada tahun 1973-1975 dan disahkan pada tahun 1984 sebagai Mushaf al-Qur’an
standar Indonesia (Uthmani) dan masih banyak lagi tokoh lainnya.
Berdasarkan alur perkembangan, ada
tiga periode perkembangan mushaf di Indonesia, yaitu: Mushaf
tulisan tangan dan Mushaf cetak mesin. Teknik penyalinan al-Qur’an di Indonesia dari metode tulisan
tangan sudah dimulai sejak abad ke-13 Masehi. Beberapa mushaf al-Qur’an
Indonesia, diantaranya seperti; mushaf Al-Qur’an Aceh, Mushaf Banten dari
Kesultanan Banten, Mushaf Kanjeng Kyai al-Qur’an, Pusaka Kraton Jogjakarta, dan
Mushaf al-Banjari. Sedangkan mushaf cetak mesin terdapat 4 periode, 1) mushaf
cetakan awal, abad ke-19, 2) Mushaf Cetakan Tahun
1933-1983, 3) Mushaf Cetakan Tahun
1984-2003, 4) Mushaf Cetakan Tahun
2004-Sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Annabel
The Gallop. 2004. Seni Mushaf di Asia
Tengggara. Terj. Ali Akbar. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan,
Bafadhal,
Fadhal AR, dkk. 2005. Mushaf-mushaf Kuno
Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Depag RI
Saefullah, Asep. 2007. Ragam Hiasan Mushaf Kuno. Koleksi Bayt
Al-Quran dan Museum Istiqlal Jakarta. Jurnal Lektur Keagamaan. Vol. 5. No. 1
Jurnal At-Tibyan Vol. I No.1 Januari–Juni 2016,
Zein, Moh. Damami. 2004. Kanjeng Kyai Al-Quran: Deskripsi Naskah dan Relevansinya dengan
Kehidupan Dewasa Ini, dalam “Kanjeng Kyai” Al-Quran, Pusaka Keraton Yogyakarta.
Yogyakarta: YKII-UIN SunanKalijaga.
Ilyas, Hamim. 2004. Kanjeng Kyai Al-Quran, Muschaf Kraton,
Qiraah dan Faham Agama, dalam “Kanjeng Kyai” Al-Quran, Pusaka Keraton
Yogyakarta. Yogyakarta: YKII-UIN Sunan Kalijaga.
Akbar, Ali.2011. Pencetakan Mushaf Al-Qur’an diIndonesia.
Jurnal Suhuf Vol. 4. No. 2.
Syarif, M.
Ibnan. 2003. Ketika Mushaf Menjadi Indah.
Semarang: AINI.
Harun, Makmur Haji. dkk. 2016. Sejarah Penulisan Al-Qur’an Nusantara. Malaysia:
UPSI
[1]
Annabel The Gallop, Seni Mushaf di Asia
Tengggara, Terj. Ali Akbar, (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2004),
hlm. 123
[2]Fadhal
AR. Bafadhal, dkk, Mushaf-mushaf Kuno
Indonesia, (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Depag RI, 2005), hlm. 8
[3]
Annabel The Gallop, Seni Mushaf di Asia
Tengggara,...hlm. 126
[4]Annabel
The Gallop, Seni Mushaf di Asia Tengggara,...hlm.
136
[5]Fadhal AR. Bafadhal, dkk. Mushaf-mushaf Kuno Indonesia,... hlm.13
[6]Asep
Saefullah, Ragam Hiasan Mushaf Kuno,
Koleksi Bayt Al-Quran dan Museum Istiqlal Jakarta, Jurnal Lektur Keagamaan,
Vol.5, No. 1, tahun 2007, hlm. 44.
[7]Moh. Damami Zein. Kanjeng Kyai
Al-Quran: Deskripsi Naskah dan Relevansinya dengan Kehidupan Dewasa Ini, dalam
“Kanjeng Kyai” Al-Quran, Pusaka Keraton Yogyakarta. (Yogyakarta: YKII-UIN
SunanKalijaga. 2004), hlm. 53-56.
[8]Hamim
Ilyas. Kanjeng Kyai Al-Quran: Muschaf
Kraton, Qiraah dan Faham Agama, dalam “Kanjeng Kyai” Al-Quran, Pusaka Keraton
Yogyakarta. (Yogyakarta: YKII-UIN Sunan Kalijaga. 2004), hlm. 73-86
[10]Jurnal At-Tibyan Vol. I No.1 Januari–Juni
2016, hlm. 181
[11]Mushaf
cetakan yang sama belum lama ini saya temukan di Masjid Dog Jumeneng, kompleks
makam Sunan Gunung Jati, Cirebon. Bagian depan mushaf sudah tidak lengkap,
namun bagian belakang masih lengkap, termasuk catatan kolofon. Ali Akbar. Pencetakan Mushaf Al-Qur’an diIndonesia,
Jurnal Suhuf Vol. 4, no. 2, tahun
2011, hlm. 271-287.
[13]Makmur
Haji Harun, dkk, Sejarah Penulisan
Al-Qur’an Nusantara, (Malaysia: UPSI, 2016), hlm. 14
[14]Jurnal At-Tibyan Vol. I No.1 Januari–Juni 2016, hlm
188
[15]Makmur
Haji Harun, dkk, Sejarah Penulisan
Al-Qur’an Nusantara...., hlm. 17
[16]Ali Akbar, Pencetakan Mushaf
Al-Quran Indonesia..., hlm. 271
Komentar
Posting Komentar