SEJARAH AL-QUR’AN DI INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sejarah penulisan al-Qur’an memiliki peranan penting dalam menceritakan kisah-kisah perjalanan panjang proses penulisan kitab suci ini yang dimaksudkan agar memudahkan pembacanya dalam mentilawah ayat demi ayatnya. Termasuk bagaimana seorang khattat yang menulis mushaf al-Qur’an dalam memilih jenis khat yang akan digunakan agar jelas dan terang bacaannya. Selain itu, keperluan kaum muslim akan mushaf al-Qur’an sangat tinggi, sehingga penting bagi umat muslim untuk mengetahui bagaimana sejarah penulisan maupun pencetakan al-Qur’an itu sendiri, khususnya bagi umat muslim di Indonesia. Sebab sebagai umat muslim sudah seharusnya mempelajari segala hal yang berkaitan dengan kalamullah yang dijadikan sebagai petunjuk dalam kehidupannya termasuk mempelajari sejarahnya.
B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Sejarah al-Qur’an di Indonesia?
2.      Bagaimana Perkembangan Metode Penulisan Mushaf al-Qur’an di Indonesia?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Al-Qur’an di Indonesia dalam Lintasan Sejarah
Penulisan al-Qur’an di Indonesia diperkirakan telah ada sekurang-kurangnya sejak sekitar akhir abad ke-13, ketika Pasai, Aceh, di ujung laut pulau Sumatra, menjadi kerajaan pesisir pertama di Nusantara yang memeluk Islam secara resmi melalui pengislaman sang raja.[1]
Penyalinan al-Qur’ansecaratradisionalterusberlangsungsampaiakhirabad ke-19 atauawalabad ke-20 yang berlangsungdiberbagaikotaatauwilayahpentingmasyarakat Islam masalalu, seperti Aceh, Padang, Pelembang, Banten, Cirebon, Yogyakarta, dan lain lain. Warisanmasalampautersebutkinitersimpan di berbagaiperpustakaan, museum, pesantren, ahliwarisdankolektordalamjumlah yang banyak.Meskipundemikian, tidakditemukan al-Qur’an dariabad ke-13 itu, dan al-Qur’an tertua di Nusantara yang diketahuisampaisaatiniberasaldariakhirabad ke-16.[2]
Menurut sejarahnya di Nusantara, mushaf al-Qur’an cetakan tertua berasal dari Palembang, hasil cetak di atas batu (litografi) oleh Haji Muhammad Azhari bin Kemas Haji Abdullah, selesai ditulis pada 21 Ramadhan 1264 (21 Agustus 1848).[3]Sejauh yang diketahuihinggakini, inilahmushafcetakantertua di Asia Tenggara.Peninggalan yang diketahuisampaisaatinihanyaadapadakoleksiAbdAzim Amin, Palembang, Sumatera Selatan. Makasejakpertengahanabad ke-19, mengawaliteknologicetakmushaf di Nusantara, pada 1848 di mana Muhammad Azharitelahmenulisdanmencetakmushafuntukpertamakalinya di kawasanini.Berdasarkanbukti yang ada, beliaujugamenyalinmushaflainnya, danselesaidicetakpadatahun 1854. Di antarapenulisnyaialah Muhammad Hanafi bin Sulaiman al-Sumbawidan (mungkin orang yang sama, ataubersaudara) Haji Muhammad bin al-MarhumSulaimanSumbawi.
Mushaf cetakan Azhari lainnya tetap terus meluas penggunaannya, dengan tahun yang lebih muda, selesai dicetak pada hari Senin, 14 Dzulqa’dah 1270 H (7 Agustus 1854) di Kampung Pedatu’an, Palembang. Von de Wall, seorangkolektornaskahabad ke-19, pernahmembuatcatatanlengkapmengenaimushafiniataspermintaanPresidenBelanda di Palembang yang dimuatdalamTBG 1857. Berdasarkancatatantersebut, mushafcetakantahun 1854 kemungkinankiniadadalamkoleksiPerpustakaanNasionalRI Jakarta.Denganadanyacetakanmushaftahun 1854 itu, dapatdiketahuibahwapercetakanmilikAzhari, lebihkurangsangatproduktifdalammasatujuhtahun (1848-1854).Meskipundemikian, luasnyaperedaranmushafhasilcetakanAzhariinitidakdiketahuidenganpasti, keranakurangnya bukti yangdijumpai.Kemudianpadatahun 1947 SalimFachry,berasaldariLangkat, Sumatera Utara, telahmenulisMushafPusakaatasperintahPresidenSoekarno. KaryamonumentalnyainisekarangmenjadikoleksiBayt al-Quran & Museum Istiqlal,TMII,Jakarta.
Dalamgenerasi yang samamuncul pula nama Muhammad SyadzaliSa’ad yang selesaimenyalinmushaf al-Qur’an padatahun 1973-1975 dandisahkanpadatahun 1984 sebagaiMushaf al-Qur’an standar Indonesia (Uthmani). Muhammad Syadzalijugamenulis "Mushaf Indonesia" ataspesananIbnuSutowo, selesaipadatahun 1979.Padamasaberikutnyamunculsatulagikaryamushaf yang ditulisolehRahmatullah al-Dimawi (berasaldariDemak) yang diterbitkanolehPenerbit al-Syifa’ Semarang, padatahun 2000, berupamushafayatsudut, namunmenggunakanrasmUthmani. Model mushaf “rasmUthmaniayatsudut” sepertiitujugaditulisolehSafaruddin, berasaldariPanunggalan (Pulokulon, Grobogan, Jawa  Tengah)  laluditerbitkanolehPenerbit CV. Wicaksana, Semarang, pada tahun2001.[4]
B.     Perkembangan Metode Penulisan Mushaf al-Qur’an di Indonesia.
Berdasarkan alur perkembangan, ada tiga periode perkembangan mushaf di Indonesia, yaitu:
1.      Mushaf  tulisan tangan.
Teknik penyalinan al-Qur’an di Indonesia dimulai dari metode tulisan tangan. Periode ini sudah dimulai sejak abad ke-13 Masehi. Hasilnya sangat banyak dan saat ini tersimpan di beberapa museum, perpustakaan, pesantren, dan sebagainya. Menurut hasil penelitian yang dilakukan badan Puslitbang Lektur Keagamaan Depag RI tahun 2003-2005.[5] Penelitian selama 3 tahun ini mencakup 18 wilayah penelitian, dengan hasil temuan naskah semuanya sekitar 241 naskah mushaf, dari beberapa provinsi, diantaranya: Aceh, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa, dan lain-lain. Mushaf kuno yang terdapat di Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal berjumlah 29 buah, termasuk mushaf-mushaf besar, tetapi tidak termasuk mushaf Istiqlal. Sedangkan mushaf Al-Qur’an kuno yang berusia lebih dari 50 tahun, ditulis di atas kertas Eropa ber-watermark atau dluang, dan bertulis tangan, sebanyak 22 buah.[6]
Beberapa mushaf al-Qur’an Indonesia, diantaranya seperti; mushaf Al-Qur’an Aceh, kini telah menjadi koleksi berbagai lembaga di dalam dan luar negeri. Inventarisasi semua koleksi mushaf Aceh sementara ini berjumlah 152 mushaf.
Adapun beberapa contoh Mushaf Nusantara lainnya, seperti: Mushaf Banten dari Kesultanan Banten yang menonjol dalam kaligrafinya. Gaya khat yang digunakan adalah gaya Naskhi yang kadang-kadang dekat dengan gaya Muhaqqaq, dengan ciri huruf yang menjulur-julur. Gaya kaligrafi seperti itu dapat ditemukan baik di Banten sendiri, maupun mushaf Banten koleksi Perpustakaan Nasional, Jakarta. Setiap lembar berlatarkan emas dalam motif bunga, yang tampaknya dilukis dengan teknik cap atau sablon. Latar emas ini benar-benar berpengaruh kuat, sehingga menjadikan mushaf ini tampak mewah dan mengesankan. Semua kata “Allah” ditulis merah. Di halaman depan terdapat kolofon yang menjelaskan bahwa mushaf ini milik Sultan Banten Muhammad ‘Ali ad-Din ibn Sultan Muhammad ‘Arif. Namun tidak ada petunjuk angka tahun penulisannya.
Mushaf Kanjeng Kyai al-Qur’an, Pusaka Kraton Jogjakarta. Di keraton Yogyakarta, setiap benda yang diakui sebagai pusaka keraton diberi sebutan “Kanjeng Kyai”. Maka dari itu, Kanjeng Kyai Al-Qur’an adalah salah satu benda warisan berupa mushaf al-Qur’an kuno yang selesai ditulis pada tahun 1799 (abad ke-18) di Surakarta, Hadiningrat.[7] Sebutan “Kanjeng Kyai Al-Qur’an” tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan orang Jawa tentang kesaktian yang dimiliki oleh manusia, hewan, atau benda tertentu. Qiraat yang digunakan adalah qiraat Imam ‘Ashim yang diriwayatkan oleh Imam Hafsh.[8]
Yang terakhir adalah Mushaf Al-Banjari. Merupakan karya Syaikh al-Banjari yang indah, dengan hiasan dan lukisan yang sangat jarang ditemukan dalam tradisi penulisan mushaf dunia Islam pada umumnya. Di bagian pinggir halaman dilengkapi bacaan qiraat sab’ah. Mushaf ini merupakan salah satu kebanggaan masyarakat Kalimantan Selatan.[9]
Menurut informasi terbaru, mushaf tulis tangan di Indonesiaterakhir ditulis oleh seorang Narapidana di Banyuwangi. MushafAl-Qur’an yang diresmikan tersebut berukuran panjang 1,1 meter x 80 sentimeter serta tebalnya 13 sentimeter. Al-Qur’an raksasa tersebut dibuat Sugiyanto (32), narapidana kasus kekerasan terhadap anak dibawah umur yang divonis Pengadilan Negeri Banyuwangi dengan hukuman 6 tahun penjara. Saat menulis lembar demi lembar Mushaf Al-Quran itu, dirinya mengaku seperti mendapatkan hidayah. Sebelumnya dia mengaku tidak bisa membaca ataupun menulis huruf hijaiyah. Namun dengan ketekunan berlatih, dirinya dalam kurun waktu relatif cepat mampu dan sukses menjalankan tugas “suci” yang di embannya.[10]
2.      Mushaf Cetak Mesin
Yang pertama adalah mushaf cetakan awal. Asal-usul  Qur’an  cetakan  awal  (early  printed  Qur’an) yang beredar di Asia Tenggara pada paruh akhir abad ke-19 -berdasarkan temuan hingga kini- tidaklah banyak. Pusat-pusat percetakan yang diketahui, yaitu Palembang, Singapura, Bombay, serta Turki. Di antara mushaf tersebut, yang paling tua, dicetak di Palembang pada 1848 dan 1854, hasil cetak batu(litografi) Haji Muhammad Azhari bin Kemas Haji Abdullah, selesai dicetak pada 21 Ramadan 1264 (21 Agustus 1848). Sejauh yang diketahui hingga kini, inilah mushaf cetakan tertua di Asia Tenggara.Peninggalan yang diketahui sampai saat ini hanya ada pada koleksi Abd Azim Amin, Palembang. Mushaf cetakan Azhari lainnya, dengan tahun yang lebihmuda, selesai dicetak pada Senin, 14 Zulqa’dah 1270 H (7 Agustus 1854) di Kampung Pedatu’an, Palembang. Von de Wall, seorang kolektor naskah abad ke-19, pernah membuat catatan lengkap mengenai mushaf ini atas permintaan Residen Belanda di Palembang yang dimuat dalam TBG 1857. Berdasarkan catatan itu, mushaf cetakan tahun 1854 kemungkinan kini ada dalam koleksi Perpustakaan Nasional RI Jakarta.[11]
Cetakan lainnya, yang beredar luas di kepulauan Nusantara pada akhir abad ke-19 adalah cetakan Singapura, Bombay, dan India.Banyak di antara mushaf-mushaf tersebut yang memiliki kolofon (catatan naskah) di bagian belakang mushaf, sehingga tidak ada keraguan tentang asal-usul cetakannya. Salah satu cetakan yang belum diketahui asal-usulnya adalah mushaf berhuruf tebal yang dari beberapa segi cukup ‘asing’.Mushaf ini diketahui di tiga tempat, pertama di Masjid Agung Surakarta (10 jilid), Pontianak (satu jilid), dan milik seseorang di Tangerang (10 jilid).Mushaf ini tampaknya tidak beredar luas seperti halnya cetakan Singapura dan Bombay.
Yang kedua yaitu Mushaf Cetakan Tahun 1933-1983. Ada sekitar 11 mushaf yang dicetak di Indonesia dalam rentang waktu tahun 1933 sampai dengan tahun 1983 (50 tahun). Diantaranya: Cetakan Matba'ah Al-Islamiyah, Bukittinggi, 1933, selanjutnya ada Mushaf cetakan Abdullah bin Afif, Cirebon, 1933-1957. Ada juga Mushaf cetakan Al-Ma'arif, Bandung 1950/1957, Sinar Kebudayaan Islam, Jakarta, 1951, Pustaka al-Haidari Kutaraja dan Pustaka Andalus Medan, 1951-1952, Tintamas, Jakarta, 1954, Al-Quran Bombay Menara Kudus, 1974, Qur’an Pojok Menara Kudus, 1974, Mushaf Cetakan Penerbit Al-Ma'arif, Bandung, 1950-an, "Mushaf Indonesia" Ibnu Sutowo, hingga Mushaf “Qur’an Kudus”, Qur’an dari Turki, yang dicetak tahun 1970-an.
Menurut Alhumam, sebagaimana dikutip oleh M. Ibnan Syarif, bahwa percetakan al-Quran (dengan mesin) di Indonesia dimulai sekitar tahun 1950 oleh penerbit Salim Nabhan dari Surabaya dan Afif dari Cirebon. Penerbit Salim berdiri pada tahun 1904. Sebelum mencetak al-Quran, penerbit Salim adalah pemasok buku-buku berbahasa Arab.[12]
Perkembangan selanjutnya adalah munculnya upaya-upaya untuk memelihara dan menjaga kesucian al-Quran dari kesalahan cetak, melalui tahap pemeriksaan oleh panitia pengecek al-Quran yaitu Lajnah Pentashih Mushaf al-Quran, yang didirikan pada tanggal 1 Oktober 1959. Untuk memperlancar tugas ini, maka Lajnah ini menerbitkan mushaf standar. Ada tiga jenis mushaf standar, yaitu:[13]
a.       Mushaf al-Qur’an Rasm Utsmani, penetapan mushaf ini berdasarkan mushaf Bombay, karena model tanda baca dan hurufnya telah dikenal luas oleh umat Islam di Indonesia sejak puluhan tahun sebelumnya, bahkan sejak awal peredarannya di Nusantara.
b.      Mushaf al-Quran Bahriyyah yang cenderung memiliki Rasm al-Imla’i. Model mushaf ini diambil dari mushafTurki yang memiliki kaligrafi yang sangat indah. Jenis mushaf ini telah digunakan secara meluas di Nusantara khususnya oleh para penghafal Qur’an, karena mushaf ini berpola 'ayat sudut' (atau 'ayat pojok'), yaitu setiap halaman, di bagian sudut/pojok bawah-kiri, berakhir dengan penghabisan ayat.
c.       Mushaf al-Quran Braille bagi penyandang tunanetra. Mushaf ini menggunakan huruf Braille Arab sebagaimana diputuskan oleh Konferensi Internasional Unesco 1951, yaitu al-Kitabah al-‘Arabiyyah al-Nafirah.
Yang ketiga yaitu Mushaf Cetakan Tahun 1984-2003. Ada sekitar 6 mushaf yang dicetak di Indonesia dalam rentang waktu tahun 1984 sampai dengan tahun 2003 (sekitar 20 tahun) diantaranya adalah : Mushaf al-Quran Standar Indonesia, 1973-1975, Mushaf Al-Quran Standar Indonesia (Bahriyah), 1991, Mushaf al-Quran Bombay Terbitan PT Karya Toha Putra, 2000, Mushaf Al-Quran Karya Ustad Rahmatullah, 2000, Mushaf Al-Quran karya Safaruddin, 2001, dan Qur'an terbitan Karya Insan Indonesia, Jakarta, 2002.
Yang keempat yaitu percetakan mushaf yang berlaku hingga sekarang, yaitu Mushaf Cetakan Tahun 2004-Sekarang. Setelah terbitnya Mushaf Standar, para penerbit mushaf dasawarsa 1980-an hingga awal dasawarsa 2000-an pada umumnya masih meneruskan tradisi lama dalam memproduksi mushaf. Era baru dalam produksi mushaf mulai muncul sejak awal dasawarsa 2000-an, ketika teknologi computer semakin maju. Sejak saat itu, para penerbit memodifikasi kaligrafi Mushaf Madinah yang ditulis oleh khaththath ‘Usman Thaha. Jenis tulisan karya kaligrafer asal Syiria itu terkenal cantik dan indah.Penerbit mushaf pertama yang memodifikasi kaligrafi ‘Ustman Thaha adalah penerbit Diponergoro, Bandung.[14]
Perkembangan selanjutnya dapat dilihat dari kreasidengan memberi warna khusus, tidak hanya kata “Allah” atau “rabb”, tetapi penandaan terhadap ayat-ayat atau surat-surat tertentu. Misalnya, ayat-ayat yang berisi doa, ayat sajadah, dan ayat-ayat tentang perempuan. Sebuah penerbit di Bandung menandakan ayat-ayat khusus tentang perempuan dengan warna pink, sementara ada penerbit lain yang memberi warna merah. Pewarnaan pada teks al-Qur’an juga dilakukan terkait dengan tajwid. Dengan maksud menuntun para pembaca al-Qur’an yang masih awam terhadap ilmu tajwid, sebagian penerbit lagi berinovasi dengan memberi warna tertentu terkait hukum bacaan dalam ilmu tajwid. Pewarnaan itu dimaksudkan sebagai kode atau tanda agar pembaca senantiasa ingat hukum bacaan tertentu dengan melihat kode warna tersebut. Teknik pewarnaannya ada yang menggunakan blok, arsir, atau warna hurufnya itu sendiri dan sebagainya.[15]
Selanjutnya, penerbit juga menambahkan kertas pembatas, uraian makhraj huruf, ayat-ayat sajadah, kertas doa sujud tilawah, al-ma’tsurat, asbabun nuzul, tafsir, hadis dan sebagainya. Perkembangan ini juga kian mewarnai ke dunia anak-anak. Sebagai contoh, penerbit Mizan menerbitkan I Love My Quran, sebuah al-Quran dan terjemahan dalam satu set, dengan ilustrasi yang unik bagi anak-anak.
Para penerbit terus berkreasi dan berinovasi dalam menawarkan keunggulan masing-masing mushaf. Jika dulunya pernah ada produk mushaf al-Qur’an dan terjemahannya dengan “7 in 1”, belakangan ini ada juga yang membuat produk mushaf dengan “22 in 1”. Keunggulan-keunggulan yang ditawarkan diantaranya: terjemahan tafsiriyah, kata kunci, kosakata, tajwid, hadis, tafsir beberapa mufassir, asbabun nuzul, dan seterusnya hingga mencapai 22 butir.[16]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Penulisan al-Qur’an di Indonesia diperkirakan telah ada sekurang-kurangnya sejak sekitar akhir abad ke-13, sedangkan penyalinan al-Qur’an secara tradisional terus berlangsung sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Menurut sejarahnya di Nusantara, mushaf al-Qur’an cetakan tertua berasal dari Palembang, hasil cetak di atas batu (litografi) oleh Haji Muhammad Azhari bin Kemas Haji Abdullah, selesai ditulis pada 21 Ramadhan 1264 (21 Agustus 1848). Kemudian pada tahun 1947 Salim Fachry, berasal dari Langkat, Sumatera Utara, telah menulis Mushaf Pusaka atas perintah Presiden Soekarno. Muncul pula nama Muhammad Syadzali Sa’ad yang selesai menyalin mushaf al-Qur’an pada tahun 1973-1975 dan disahkan pada tahun 1984 sebagai Mushaf al-Qur’an standar Indonesia (Uthmani) dan masih banyak lagi tokoh lainnya.
Berdasarkan alur perkembangan, ada tiga periode perkembangan mushaf di Indonesia, yaitu: Mushaf tulisan tangan dan Mushaf cetak mesin. Teknik penyalinan al-Qur’an di Indonesia dari metode tulisan tangan sudah dimulai sejak abad ke-13 Masehi. Beberapa mushaf al-Qur’an Indonesia, diantaranya seperti; mushaf Al-Qur’an Aceh, Mushaf Banten dari Kesultanan Banten, Mushaf Kanjeng Kyai al-Qur’an, Pusaka Kraton Jogjakarta, dan Mushaf al-Banjari. Sedangkan mushaf cetak mesin terdapat 4 periode, 1) mushaf cetakan awal, abad ke-19, 2) Mushaf Cetakan Tahun 1933-1983, 3) Mushaf Cetakan Tahun 1984-2003, 4) Mushaf Cetakan Tahun 2004-Sekarang.


DAFTAR PUSTAKA

Annabel The Gallop. 2004. Seni Mushaf di Asia Tengggara. Terj. Ali Akbar. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan,
Bafadhal, Fadhal AR, dkk. 2005. Mushaf-mushaf Kuno Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Depag RI
Saefullah, Asep. 2007. Ragam Hiasan Mushaf Kuno. Koleksi Bayt Al-Quran dan Museum Istiqlal Jakarta. Jurnal Lektur Keagamaan. Vol. 5. No. 1
Jurnal At-Tibyan Vol. I No.1 Januari–Juni 2016,
Zein,  Moh. Damami. 2004. Kanjeng Kyai Al-Quran: Deskripsi Naskah dan Relevansinya dengan Kehidupan Dewasa Ini, dalam “Kanjeng Kyai” Al-Quran, Pusaka Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: YKII-UIN SunanKalijaga.
Ilyas, Hamim. 2004. Kanjeng Kyai Al-Quran, Muschaf Kraton, Qiraah dan Faham Agama, dalam “Kanjeng Kyai” Al-Quran, Pusaka Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: YKII-UIN Sunan Kalijaga.
Akbar, Ali.2011. Pencetakan Mushaf Al-Qur’an diIndonesia. Jurnal Suhuf  Vol. 4. No. 2.
Syarif, M. Ibnan. 2003. Ketika Mushaf Menjadi Indah. Semarang: AINI.
Harun, Makmur Haji. dkk. 2016. Sejarah Penulisan Al-Qur’an Nusantara. Malaysia: UPSI



[1] Annabel The Gallop, Seni Mushaf di Asia Tengggara, Terj. Ali Akbar, (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2004), hlm. 123
[2]Fadhal AR. Bafadhal, dkk, Mushaf-mushaf Kuno Indonesia, (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Depag RI, 2005), hlm. 8
[3] Annabel The Gallop, Seni Mushaf di Asia Tengggara,...hlm. 126
[4]Annabel The Gallop, Seni Mushaf di Asia Tengggara,...hlm. 136
[5]Fadhal AR. Bafadhal, dkk. Mushaf-mushaf Kuno Indonesia,... hlm.13
[6]Asep Saefullah, Ragam Hiasan Mushaf Kuno, Koleksi Bayt Al-Quran dan Museum Istiqlal Jakarta, Jurnal Lektur Keagamaan, Vol.5, No. 1, tahun 2007, hlm. 44.
[7]Moh. Damami Zein. Kanjeng Kyai Al-Quran: Deskripsi Naskah dan Relevansinya dengan Kehidupan Dewasa Ini, dalam “Kanjeng Kyai” Al-Quran, Pusaka Keraton Yogyakarta. (Yogyakarta: YKII-UIN SunanKalijaga. 2004), hlm. 53-56.
[8]Hamim Ilyas. Kanjeng Kyai Al-Quran: Muschaf Kraton, Qiraah dan Faham Agama, dalam “Kanjeng Kyai” Al-Quran, Pusaka Keraton Yogyakarta. (Yogyakarta: YKII-UIN Sunan Kalijaga. 2004), hlm. 73-86
[9]Abdan Syukri. Mushaf Syekh Al-Banjari, dalam Mushaf-mushaf Kuno Indonesia, hlm. 213-217
[10]Jurnal At-Tibyan Vol. I No.1 Januari–Juni 2016, hlm. 181
[11]Mushaf cetakan yang sama belum lama ini saya temukan di Masjid Dog Jumeneng, kompleks makam Sunan Gunung Jati, Cirebon. Bagian depan mushaf sudah tidak lengkap, namun bagian belakang masih lengkap, termasuk catatan kolofon. Ali Akbar. Pencetakan Mushaf Al-Qur’an diIndonesia, Jurnal Suhuf Vol. 4, no. 2, tahun 2011, hlm. 271-287.
[12]M. Ibnan Syarif,Ketika Mushaf Menjadi Indah, (Semarang: AINI, 2003), hlm. 61
[13]Makmur Haji Harun, dkk, Sejarah Penulisan Al-Qur’an Nusantara, (Malaysia: UPSI, 2016), hlm. 14
[14]Jurnal At-Tibyan Vol. I No.1 Januari–Juni 2016, hlm 188
[15]Makmur Haji Harun, dkk, Sejarah Penulisan Al-Qur’an Nusantara...., hlm. 17
[16]Ali Akbar, Pencetakan Mushaf Al-Quran Indonesia..., hlm. 271

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEDATANGAN BANGSA BARAT KE NUSANTARA SERTA REAKSI PARA RAJA TERHADAP PENETRASI BARAT TERSEBUT

PENDEKATAN TEOLOGIS NORMATIF DALAM STUDI ISLAM