AKAL DAN WAHYU DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM ISLAM



AKAL DAN WAHYU DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM ISLAM

ABSTRAK
Permasalahan mengenai akal dan wahyu selalu menjadi sorotan dan pembahasan yang sangat menarik tidak hanya dikalangan kaum teolog tetapi juga dikalangan kaum filosof maupun ushuliyyin. Hal ini dikarenakan topik mengenai akal dan  wahyu ini saling berkesinambungan baik dalam hukum Islam, teologi Islam (ilmu kalam), maupun filsafat Islam. Dalam perspektif filsafat hukum Islam, akal dan wahyu memiliki peranan yang sangat penting.
Kata Kunci : Akal dan Wahyu, Filsafat, Hukum Islam
A.    PENDAHULUAN
Allah SWT menciptakan manusia dengan segala anugerah dan kelebihan yang melekat pada manusia itu sendiri, salah satunya yakni diberikannya akal dalam diri manusia yang menjadikan manusia lebih unggul dari makhluk-makhluk ciptaan Allah lainnya. Akan tetapi manusia dapat menjadi lebih istimewa ketika menggunakan akalnya untuk berfikir. Dalam Islam, sifat ajaran dasar dari agama Islam itu sendiri dari wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, bahkan penjelasan Rasul dalam penerapan wahyu yang diterimanya pun diyakini juga bersumber dari wahyu. Disisi lain, Islam juga sangat menghargai akal dan kedudukannya, serta menjadikan akal sebagai alat bantu untuk memahami wahyu. Sehingga muncullah berbagai pandangan yang beragam mengenai peran dan kedudukan akaldan wahyu
Perbedaan dan berpasangan telah menjadi sunatullah di alam ini, bahkan karenanya alam menjadi seimbang dengannya, tetapi apabila kedua hal itu dipandang dapat berjalan secara dikotomis ( terpisah tanpa ada hubungan yang harmonis), dapat dipastikan alampun tidak lama lagi menjadi rusak dan kacau dengannya. Begitu juga dengan hukum Islam, yang dikenal sebagai konsep yang saling berbeda dan berpasangan, seperti qath’i dan dzanni, muhkamat dan mutasyabihat, tafsir dan ta’wil, dzahir dan bathin, termasuk pula dalam hal ini adalah antara akal dan wahyu. Ketika keduanya dipakai secara berimbang sesuai forsinya, maka syariat atau hukum Islam akan berjalan dengan baik, tetapi ketika keduanya dipisahkan secara dikotomis tanpa melihat adanya hubungan erat di antara keduanya, maka saat itu pula akan muncul konflik dan ketegangan dalam hukum Islam. Oleh karena itu, pentingnya memahami akal dan wahyu melalui perspektif filsafat hukum Islam.
B.     PENGERTIAN AKAL DAN WAHYU
1.    Pengertian Akal
Kata akal berasal dari bahasa Arab, yaitu al-aql yang berarti al-hijr (menahan) dan juga al-nuha (cerdas/pandai). Lafadz ‘aqala-ya’qilu-‘aqlan yang berarti habasa (menahan/mengikat), ‘ayada (mengokohkan), serta fahima (memahami). Lafaz aql juga disebut dengan al-qalb (hati), disebut aql (akal) karena akal itu mengikat pemiliknya dari kehancuran, akal itu sebagai pembeda karena dialah yang membedakan dengan semua hewan.
Maka orang yang berakal (‘aqil) adalah orang-orang yang dapat menahan amarahnya dan mengendalikan hawa nafsunya, karena dapat megambil sikap dan tindakan yang bijaksana dalam menghadapi segala persoalan yang dihadapinya.
Orang yang berakal adalah orang yang pandai mendayagunakan pikirannya (akal) untuk menahan, mengikat dari kehancuran dirinya dan memahami dengan menganalisis segala ciptaan-Nya, sehingga hidupnya bikasana, terpelihara dari kesesatan.[1]
Adapun seacara istilah akal memiliki arti daya berfikir yang ada dalam dirimanusia dan merupakan salah satu dari jiwa yang mengandung arti berpikir. Bagi Al-Ghazali akal memiliki beberapa pengertian; pertama, sebagai potensi yang membedakan dari binatang dan menjadikan manusia mampu menerima berbagai pengetahuan teoritis. Kedua, pengetahuan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengalaman yang dilaluinya dan akan memperhalus budinya. Ketiga, akal merupakan kekuatan instink yang menjadikan seseorang mengetahui dampak semua persoalan yang dihadapinya sehingga dapat mengendalikan hawa nafsunya.[2]
Dengan masuknya pengaruh filsafat Yunani kedalam pemikiran Islam, maka kata al-‘aql mengandung arti yang sama dengan kata yunani, nous. Falsafat Yunani mengartikan nous sebagai daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia.
Letak akal yang terdapat di dalam Al-Qur’an yakni dijelaskan dalam Qs. Al-Hajj (22) ayat 46, yang artinya,” Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu bagi mereka mempunyai al-qalb, yang dengan al-qalb itu mereka dapat memahami (dan memikirkan) dengannya atau ada bagi mereka telinga (yang dengan telinga itu) mereka mendengarkan dengannya, maka sesungguhnya tidak buta mata mereka tapi al-qalb (mereka) yang buta ialah hati yang di dalam dada.”
Dari ayat ini, dapat diketahui bahwa al-‘aql itu ada di dalam al-qalb, karena, seperti yang dikatakan dalam ayat tersebut, memahami dan memikirkan (ya’qilu) itu dengan al-qalb dan kerja memahami dan memikirkan itu dilakukan oleh al-‘aq,l maka tentu al-‘aql ada di dalam al-qalb, dan al-qalb ada di dalam dada. Yang dimaksud dengan al-qalb tentu adalah jantung, bukan hati dalam arti yang sebenarnya karena ia tidak berada di dalam dada, dan hati dalam arti yang sebenarnyadalam padanan kata bahasa Arab adalah al-kabd.
Dengan demikian akal dalam pengertian Islam, bukanlah otak, akan tetapi daya berfikir yang terdapat  dalam jiwa manusia, daya untuk memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Dalam pengertian inilah akal yang dikontraskan dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yakni dari Allah SWT.
2.    Pengertian Wahyu
Wahyu berasal dari kata bahasa Arab al-wahy yangberarti suara, api dan kecepatan, serta juga dapat  berarti bisikan, isyarat, tulisandan kitab. Al-wahy juga mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi pengertian wahyu yang dimaksudkan disini adalahapa yang disampaikan Tuhan kepada para utusan-Nya.[3]
Wahyu Allah diturunkan kepada utusan-Nya khususnya kepada Nabi Muhammad pada garis besarnya berisi: aqidah, prinsip-prinsip keimanan yang perlu diyakini oleh setiap mukmin: hukum-hukum syari’at yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alamnya: akhlak, tuntunan budi pekerti luhur; ilmu pengetahuan; sejarah umat umat terdahulu, sebagai pelajaran; informasi hal-hal yang akan terjadi pada masa yang akan datang.[4]
Firman Allah itu mengandung petunjuk  dan pedoman yang memang diperlukan oleh umat manusia dalam menjani hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dalam Islam wahyu Allah itu disampaikan kepada nabi Muhammad saw yang terkumpul semuanya dalam al-Qur’an.Wahyu dalam arti firman Allah yang disampaikan kepada nabi dan rasul-Nya, antara lain terdapat dalam Qs. An-Nisa’ : 163
Artinya: “ Sesungguhnya kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana kami telah memberikan wahyu kepada  Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, dan Anak Cucuny, Isa, Ayyub,Yunus, Harun, Dan Sulaiman. Dan kami berikan zabur kepada Dawud”
Adapun cara penyampaian wahyu, atau komunikasi Tuhan dengan nabi-nabi melalui tiga cara, antara lain : Pertama, melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham; Kedua, dari belakang tabir, seperti yang terjadi pada Nabi  Musa; dan Ketiga, melalui utusan yang dikirimkan Tuhan dalam bentuk  malaikat.
C.    AKAL DAN WAHYU DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM ISLAM
Dalam pandangan filsafat, akal banyak dipakai dan dianggap lebih besar dayanya dari apa yang telah diungkapkan teolog, sebab ini sesuai dengan pengertian filsafat ialah memikirkan sesuatu sedalam-dalamnya tentang wujud. Bagi filsuf, hubungan akal dan wahyu, antara filsafat dan agama tidak ada pertentangan. Walaupun telah terjadi berbagai hujatan bahwa filsafat bertentangan. Dengan agama, namun para filsuf berusaha dengan sekeras mungkin untuk menunjukan bahwa filsafat pada prinsipnya tidak bertentangan dengan agama.
Pada periode modern/kontemporer ini umat Islam, khususnya para cendekiawan muslim mulai sadar akan keterpurukan Islam dan dominasi Barat. Mereka kemudian bangkit dan menyadari faktor-faktor penyebab keterpurukan Islam pada periode perengahan. Salah satu faktor utamanya adalah sikap taklid dan kegiatan ijtihad menjadi terhenti, hal tersebut juga menjadi bagian dari dampak” pendominasian” wahyu atas akal, hingga akal seolah-olah tidak mendapat ruang dalam Islam. Sebenarnya sejak periode pertengahan, teori untuk menghubungkan antara akal dengan wahyu dalam hukum Islam telah dikemukakan di antaranya dalam metode penemuan hukum al-Ghazali. Namun karena kondisi sosial politik ketika itu, teori tersebut lebih dipahami sebagai legitimasi atas dominasi wahyu terhadap akal.
Filsafat hukum, sebagaimana yang kita lihat, mengambil pandangan hukum yang bersifat teleologis yang menyatakan bahwa adanya hukum adalah untuk memenuhi maksud tertentu. Hukum Islam atau Syariah adalah sistem ketuhanan yang dinobatkan unuk menuntun umat manusia menujuke jalan damai didunia ini dan bahagia dihari kiamat. Pada pokoknya, syariah merupakan pernyataan sifat Tuhan dan usaha untuk menegakkan perdamaian dimuka bumi denganmengatur masyarakat dan memberikan kaadilan kepada semua orang  karena perintah tanpa keadilan membuat hukum menjadi kejam.[5]
Syariah berdasarkan pada wahyu yang merupakan satu-satunya sumber pengetahuan tentang segala hal, baik dan buruk, serta yang dapat dipertanggungjawabkan. Syariah menuntut kebaikan dan melarang kejelekan. Kebaikannya tidak dapat diketahui secara rasional. Akal dapat berbuat salah dan tidak sempurna sehingga tidak dapat dijadikan sebagai dasar. Karena itu, syariah lebih memiliki pemikiran analogis sebagai sebuah pemecahan bagi interpretasi hukum.[6]
D.    KESIMPULAN
Akal dan wahyu dalam perspektif filsafat hukum Islam dapat digunakan secara seimbang tanpa adanya ketegangan, perdebatan, pertentangan atau apaun itu ketika keduanya digunakan untuk saling melengkapi. Dalam filsafat hukum Islam, akal digunakan untuk memikirkan dan memahami sebuah permasalahan hukum untuk melihat baik dan buruknya keputusan sebuah hukum, artinya akal dijadikan sebagai pemikiran analogis untuk mempertimbangkan baik dan buruknya sebuah keputusan hukum. Sedangkan wahyu yang merupakan firman Allah dijadikan sebagai sumber dasar untuk menetapkan hukum, bahkan ulama ushul fiqh menerapkan kaidah :لَاحُكْماِلَّااللّٰهِyang artinya “tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah”.
DAFTAR PUSTAKA

Muslehuddin,Muhammad. 1991. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Nasution, Harun. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press.
Ya’qub,  Hamzah. 1992.Filsafat  Agama.  Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Zuhri,Saifudin. 2011. Ushul Fiqih: Akal sebagai Sumber Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Farid & Musthofa Anshori L. 1997. Otoritas Wahyu dan Kreatifitas Akal dalam Penetapan  Hukum Islam: Tinjauan Epistemologis terhadap Hukum Islam. Jurnal Filsafar, Juni.Dalam https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/viewFile/31664/19194. Diunduh 26 Juni 2018.
Hutasuhut, Efrianto. 2017. Akal Dan Wahyu Dalam Islam(Perbandingan Pemikiran Harun NasutiondanMuhammad Abduh). Tesis. Medan: UIN Sumatera Utara. Dalam http://repository.uinsu.ac.id/1967/1/TESIS.pdf. Diunduh 26 Juni 2018.
Masbukin dan Alimuddin Hassan. 2016. Akal dan Wahyu; Antara Perdebatan dan Pembelaan dalam Sejarah. Jurnal Toleransi: Media Komunikasi Umat Beragama. No. 2. Vol. 8. Dalam https://media.neliti.com/media/publications/164777-ID-akal-dan-wahyu-antara-perdebatan-dan-pem.pdf. Diunduh tanggal 26 Juni 2018
Muslehuddin, Muhammad. 1991. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Nasution, Harun. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press.
Ulfah, Maria. 2009. Akal Dan Wahyu Dalam Islam(Perbandingan Pemikiran Antara Muhammad Abduh dan Harun Nasution). Skripsi. Semarang: Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo. Dalam http://eprints.walisongo.ac.id/4831/1/4105011.pdf. Diunduh 26 Juni 2018.
Ya’qub,  Hamzah. 1992. Filsafat  Agama.  Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Zuhri, Saifudin. 2011. Ushul Fiqih : Akal sebagai Sumber Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



[1]Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih : Akal sebagai SumberHukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 29-30
[2] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 8
[3]Ibid, hlm. 15
[4] Hamzah Ya’qub,  Filsafat Agama, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991),  hlm. 131.
[5] Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis : Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991), hlm. 77
[6]Ibid, hlm. 92

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH AL-QUR’AN DI INDONESIA

KEDATANGAN BANGSA BARAT KE NUSANTARA SERTA REAKSI PARA RAJA TERHADAP PENETRASI BARAT TERSEBUT

PENDEKATAN TEOLOGIS NORMATIF DALAM STUDI ISLAM