Kondisi Geografis Jazirah Arab Pra Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masa sebelum
Islam, kawasan jazirah Arab, disebut masa jahiliyyah. Julukan semacam ini
terlahir disebabkan oleh terbelakangnya moral masyarakat Arab khususnya Arab
pedalaman yang hidup menyatu dengan padang pasir dan area tanah yang gersang.
Mereka berada
dalam lingkungan miskin pengetahuan. Situasi yang penuh dengan kegelapan dan
kebodohan tersebut mengakibatkan mereka sesat jalan, namun bukan berarti
masyarakat Arab pada waktu itu sama sekali tidak memiliki peradaban. Bangsa
Arab sebelum lahirnya Islam sudah dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki
kemajuan ekonomi. Suasana semacam ini berlangsung hingga Islam datang di
tengah-tengah mereka.
Namun demikin,
bukan berarti masyarakat Arab pada waktu itu sama sekali tidak memiliki
peradaban. Bangsa Arab sebelum lahirnya Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah
memiliki kemajuan ekonomi. Untuk lebih mengetahui tentang kondisi perekonomian
bangsa Arab, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang kondisi perdagangan,
pertanian, industri, peternakan, pasar, alat tukar menukar di Arab pra Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
kondisi perdagangan di Arab pra Islam?
2.
Bagaimana
kondisi pertanian di Arab pra Islam?
3.
Bagaimana
kondisi industri (kerajinan tangan) di Arab pra Islam?
4.
Bagaimana
peternakan di Arab pra Islam?
5.
Bagaimana keadaan pasar di Arab pra Islam?
6.
Apa
alat tukar atau mata uang yang digunakan bangsa Arab pra Islam?
7.
Apa
contoh hadist atau ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan aktifitas ekonomi
masyarakat Makkah Madinah pra Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perdagangan di Arab pra Islam
Perdagangan
adalah unsur penting dalam perekonomian masyarakat arab pra Islam, mereka telah
lama mengenal perdagangan bukan saja dengan sesama Arab,tetapi juga non Arab.
Kemajuan perdagangan bangsa Arab pra Islam dimungkinkan antara lain karena
pertanian yang telah maju. Kemudian tersebut ditandai dengan adanya kegiatan
ekspor impor yang mereka lakukan. Para pedagang Arab Selatan dan Yaman pada 200
tahun menjelang Islam datang, telah mengadakan transaksi dengan India (Asia
selatan sekarang), Negeri pantai Afrika, sejumlah negeri teluk Persia, Asia
Tengah, dan sekitarnya.[1]
Keluasan dalam
perniagaan dan interaksinya
yang luas dengan dunia luar (terutama
penduduk Syria, Mesir,
Irak, Iran, Yaman,
dan Ethiopia) tersebut,
tidak saja mendatangkan
keuntungan materi yang besar,
tetapi juga meningkatkan kadar pengetahuan, kecerdasan, dan kearifan
suku Quraisy. Tak heran bila kemudian mereka
menjadi suku yang
paling piawai dalam berniaga, baik dalam
bentuk syirkah[2]
maupun mudharabah[3],
yang Keluasan dalam
perniagaan dan interaksinya
yang lulus dengan dunia luar (terutama
penduduk Syria, Mesir,
Irak, Iran, Yaman,
dan Ethiopia) tersebut.
Kebiasaan
orang-orang Quraisy mengadakan perjalanan perdagangan ke daerah-daerah lain.
Allah SWT mengabadikan perjalanan dagang mereka sebagai perjalanan dagang yang
sangat terkenal, yaitu perjalanan musim dingin menuju Yaman, dan sebaliknya
perjalanan dagang musim panas ke Syam. Allah berfirman dalam QS. Quraisy (106):
1-4
Artinya:
“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy. Yaitu kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberikan makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”.
“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy. Yaitu kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberikan makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”.
Dalam hal
ini, komoditas utama mereka
adalah kurma, gandum, zabib, dan kismis.
adapun komoditas yang
mereka ambil dari Yaman dan Syam adalah kain untuk pakaian dan tembaga
(seperti bahan emas dan perak). Komoditas impor
dari Afrika Timur
antara lain adalah
kayu untuk bahan bangunan, bulu burung
unta, lantakan logam
mulia, dan badak, dari
Asia Selatan dan
China berupa gading,
batu mulia, sutra, pakaian, pedang, dan rempah-rempah serta
dari negara lain di Teluk Persia mereka mengimpor intan.
Sebagai pelaku
ekspor impor, Jazirah
Arab memiliki pusat
kota tempat bertransaksi yaitu kota Makkah. Kota Makkah merupakan kota
suci yang setiap tahunnya
dikunjungi, terutama karena
disitulah terdapat bangunan
suci Ka'bah. Di Kota Makkah terdapat pusat perdagangan
yaitu Pasar Ukaz yang dibuka pada bulan-bulan tertentu, seperti Zulqo’dah,
Zulhijjah, dan Muharram.[4]
Makkah merupakan
jalur persilangan ekonomi
internasional, yaitu menghubungkan
Makkah ke Abysinia
seterusnya menuju ke Afrika Tengah. Dari
Makkah ke Damaskus
seterusnya kedaratan Eropa. Dan Makkah ke al-
Machin (Persia) ke
Kabul, Kashmir, Singking (Sinjian) sampai ke
Zaitun dan Canton, selanjutnya menembus
daerah Melayu. Selain itu
juga dari Makkah ke
aden melalui laut
menuju ke India, Nusantara, hingga Canton
(al - Haddad).
Tata cara berdagang bangsa Arab yaitu[5]:
a.
Pengelompokan
perjalanan perdagangan
Empat putra Abdi Manaf atau pemimpin dan penguasa suku Quraisy
(kakek moyang Nabi Muhammad), yang ditunjuk memimpin perjalanan besar pedagang
(khalifah) Hasyim memimpin ke Negeri Syam (Syiria), Abdus Syam memimpin
khalifah ke Negeri Habasiyyah (Ethopia), kemudian Abdul Mutholib memimpin
khalifah ke Negeri Yaman, Naufal memimpin perjalanan khlifah ke Negeri Persia.
b.
Perdagangan
yang dilakukan dengan cara berombongan (kafilah)
Masyarakat Arab terutama suku Quraisy dikenal sebagai pedagang
tangguh, mereka sering mengadakan perjalanan perdagangan ke luar Negeri .
c.
Cara
pengaturan waktu perjalanan perdagangan,
Ada dua musim perjalanan yang dilakukan oleh bangsa Quraisy yaitu
musim panas untuk perjalanan perdagangan ke Negeri Syam, dari perjalanan musim
panas ke negeri Syam diharapkan para pedagang mendapatkan kesejukan saat
melakukan perjalanan. Kemudian pada musim dingin untuk perjalanan ke Negeri
yaman, dari perjalanan musim dingin ke negeri Yaman diharapkan para pedagang
mendapatkan kehangatan saat melakukan perjalanan
Sikap Nabi SAW terhadap sistem
perdagangan Pra Islam:
a.
Tahmil
(diadopsi), contoh: Syirkah
b.
Taghyir
(Dirubah dan direkonstruksi), contoh: gadai
c.
Tahrim
(diharamkan lalu dihilangkan), contoh:
-
Bai
ul hasar, yaitu sistem pembelian dengan cara melempar kerikil.
-
Bai
ul gharar, yaitu transaksi jual beli akan tetapi unsur penipuannya besar.
-
Bai
ul munabadzah, yaitu sistem jual beli dimana sang penjuak melempar barang
dagangannya, lalu jika mengenai seseorang orang tersebut wajib beli.
-
Mulanasah,
yaitu sistem jual beli dimana jika seseorang memegang dagangan orang baik
disengaja ataupun tidak dia wajib membelinya.
B.
Pertanian Di Arab Pra Islam
Pertanian adalah salah
satu pondasi penting perekonomian bangsa Arab kala itu, sejak 200 tahun sebelum
kenabian Muhammad, mereka mengenal peralatan pertanian semi modern seperti alat
bajak, cangkul, garu, dan tongkat kayu untuk menanam.[6]
Penggunaan hewan ternak seperti, unta, keledai, dan sapi jantan sebagai penarik
bajak dan garu serta pembawa tempat air juga sudah dikenal. Mereka telah mampu
membuat bendungan raksasa yang dinamakan al-ma’arib.
Yaman adalah negeri yang subur, khususnya di sekitar bendungan Ma’rib, di mana
pertanian maju secara pesat dan menakjubkan. Di masa itu juga telah berkembang
industri, seperti industri kain katun dan persenjataan berupa pedang, tombak,
dan baju besi. Akan tetapi, mereka tidak bersyukur dan justru berpaling dari
ketaatan kepada Allah. Karena kekufuran itu, Allah pun menghancurkan bendungan
Ma’rib.
Tanah sebagian di Arab
berupa padang pasir yang sangat luas, panas dan gersang tetapi juga terdapat
lahan yang subur yang terletak di lembah-lembah yang terdap mata air (oase) dan
sering turun hujan. Tanah pertanian yang utama terdapat di daerah Thaif. Hasil
pertanian mereka antara lain sayur dan buah-buahan. Hasil pertanian itu kemudian
dijual ke kota-kota seperti Makkah dan Madinah.
Pada saat itu mereka
sudah menerapkan sistem irigasi. Untuk menyuburkan tanah, masyarakat Arab pra-Islam
telah menggunakan apa yang sekarang disebut pupuk alami, seperti pupuk kandang,
kotoran manusia, dan binatang tanah tertentu, misalnya cacing dan rayap. Mereka
juga telah mengenal teknik penyilangan pohon tertentu untuk mendapat bibit
unggul.
Ada tiga sistem yang
dipakai oleh para pemilik ladang atau sawah dalam mengelola pertanian mereka
pada saat itu[7]:
1. Ialah sistem sewa menyewa (ijarah) dengan emas logam mulia lain,
gandum, atau produk pertanian sebagai alat pembayaran.
2. Ialah sistim bagi hasil produk (muzara’ah)[8],
misalnya separuh untuk pemilik dan separuh untuk penggarap, dengan bibit dan
ongkos penggarapan dari pemilik.
3. Ialah sistem pendego (mudharabah)[9],
yakni seluruh modal datang dari pemilik, sementara pengairan, pemupukan, dan perawatannya
di kerjakann oleh penggarap.
C.
Industri (kerajinan tangan) di Arab Pra Islam
Pada dasarnya perekonomian islam tumbuh mengandalkan bisnis.
Industri ini hampir dapat dikatakan sangat terbatas. Industri ketika itu hanya
pada pembuatan senjata yang sederhana, seperti pedang, pisau, tombak,panah, dan
perisai. Ada juga sedikit dari anggota masyarakat yang membuat ranjang dipan
dan semacamnya.[10]
Perdagangan mereka melalui jalur darat dan laut. Memang masyarakat
Mekkah tidak emiliki kapal-kapal dagang, tetapi mereka menggunakan kapal/perahu
yang berdatangan, antara lain dari habasyah yang berlabuh di Jeddah dan
Syu’aibah.
D.
Peternakan di Arab Pra Islam
Masyarakat yang bermata pencaharian sebagai peternak adalah suku Arab
pendalaman, seperti halnya Arab Badui. Jenis binatang yang dipelihara adalah
domba, kambing, unta. Dalam menggembala hewan-hewan ternaknya, mereka harus
hidup berpindah-pindah untuk mencari oase(tanah yang subur yang memiliki
rumput-rumput yang hijau) sebagai makanan hewan ternaknya. Hasil yang mereka
peroleh dari peternakan itu adalah susu, daging, dan kulit untuk pakaian atau
menjual sebagian ternaknya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kekayaan mereka
terlihat dari banyaknya hewan ternak yang mereka miliki.
Selain Arab Baadui, sebagian masyarakat perkotaan yang menjadikan
peternakan sebagai sumber penghidupan. Ada yang menjadi penggembala ternak
milik sendiri, ada juga yang menggembala ternak orang lain. Seperti Nabi
Muhammad saw ketika tinggal di Suku Bani Sa’ad, Beliau seorang penggembala
kambing. Begitu juga Umar Bin Khatab, Ibnu Mas’ud, dan lain-lain.
E.
Keadaan Pasar di Arab Pra Islam
Orang-orang Arab zaman Jahiliyah memiliki pasar-pasar sebagai pusat perdagangan. Pusat perdagangan yang
terkenal, yaitu: Ukazh, Mijannah, dan Zul Majaz. Di antara tiga pasar ini, yang
paling besar dan paling banyak pengunjungnya ialah Ukazh. Pasar ini dikunjungi
orang-orang Arab dari berbagai daerah di seluruh Arab. Pengunjung terbanyak
berasal dari Qabilah (suku) Mudhar, karena memang pasar ini terletak di daerah
mereka.
Pusat perdagangan ini bukan hanya sebagai tempat transaksi perdagangan,
tetapi juga menjadi pusat pertemuan para pakar sastra, syair, dan para orator.
Mereka berkumppul untuk saling menguji. Sehingga, sebagaimana pertumbuhan
kota-kota modern saat ini, maka konsep pasar pada masa jahiliyah tersebut tidak
sekedar sebagai pusat perbelanjaan, tetapi juga menjadi pusat peradaban,
kekayaan bahasa dan transaksi-transaksi global.
Sebagai pusat perdagangan, pada masa Jahiliyah transaksi riba merata di
Semenanjung Arab. Bisa jadi mereka terjangkiti penyakit ini karena pengaruh
orang-orang Yahudi yang menghalalkan transaksi riba. Islam datang menghapuskan transaksi riba, karena riba hanya merusak tatanan
perekonomian.
Model Pasar di Arab:
1. Pasar sepanjang tahun, pasar ini berada di desa-desa dan perkotaan.
2. Pasar musiman
a. Pasar Haram, contoh: pasar ukaz, pasar habasyah, pasar majinah, dll.
b. Pasar diselain bulan haram, contoh: pasar damatul jandl, pasar adn, pasar
son’a, dll.
F.
Alat Tukar atau Mata Uang yang Digunakan Bangsa Arab Pra Islam
Sejak masa
perjalanan dagang quraisy ini dan sejak terjalinya perjanjian-perjanjian antara
suku quraisy dengan penguasa wilayah sekitar makkah, sampai dengan datangnya
islam, masyarakat arab telah mengenal dan menggunakan mata uang asing, yakni
dirham dan dinar . dirham ada dua macam, ad yang dilukisi dengan lukisan persi,
ada juga byzantium, sesuai dengan asal mata uang itu. Dirham biasanya terbuat
dari perak, sedang dinar dari emas.ini dibuat di byzantium, dengan gambar raja
penguasa massanya dan banyak beredar di
hijaz. Masyarakat arab zaman jahiliyah
sudah mengenal juga alat ukur dan timbangan. Al-quran mengecam mereka
yang menggunakan secara batil, anatara lain dengan firma-Nya dalam surah
al-muthaffifin 83:1-3 :
(1). وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,
(2). الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ
(yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,
(3). وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ
dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,
(2). الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ
(yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,
(3). وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ
dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.
Masyarakat
jahiliyah dimakkah ketika itu telah mengenal angka, ukuran, berat dan panjang.
Mereka menggunakan istilah-istilah seperti sha’, mud, auqiyahlons. Ini di
buktikan pada ayat al-quran yang bicara tentang waris atau dalam hadits-hadits
yang menguraikan kadar zakat hartaatau fitrah dan sebagainya.
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Unsur penting yang menjadi andalan masyarakat Arab pra Islam adalah
perdagangan di samping pertanian dan peternakan. Hal itu bisa dilihat dari
kondisi alamnya yang gersang, dan apabila mereka hanya mengandalkan dari
pertanian dan peternakan mungkin perekonomiannya akan kurang berkembang. Maka
dari itu perdagangan menjadi sektor penting dalam bangsa Arab.
Mereka telah lama mengenal perdagangan bukan saja dengan orang Arab
melainkan dengan daerah-daerah lain. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan
adanya Makkah sebagai kota dagang internasional. Dimana Makkah merupakan tempat
yang sangat strategis, yakni penghubung jalur dagang antara Yaman dan Syiria.
Daftar pustaka
Badri. 2004. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Chamid,
Nur. 2010. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Musyawarah
Guru PAI. 2008. Sejarah Kebudayaan Islam Kelas XI MA/SMTR Ganjil.
Sragen: CV Akik Pusaka.
Shihab, M.Qurays. 2014.
Membaca Sirah Nabi Muhammad. Tangerang: Lentera Hati.
Sudarsono,
Heri. 2004. Konsep Ekonomi Islam. Yogyakarta : Ekonosia.
[1] Nur Chamid,
Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), hlm.61-62
[2] Istilah lain
yang digunakan untuk musyarokah adalah syirkah. Para ahli
menerjemahkan musyarokah kedalam Bahasa Inggris menjadi partnership
, yang bila diIndonesiakan paling tidak mengandung pengertian kemitraan atau persekutuan atau perkongsian.
Sedangkan lembaga-lembaga keuangan Islam menerjemahkannya dengan istilah participation
financing".
[3] Mudharabah
adalah suatu bentuk kerjasama antar pemilik modal (Shahibul mal) dengan
pengelola (mudharib) disertai suatu perjanjian.
[4] Musyawarah
Guru PAI, Sejarah Kebudayaan Islam Kelas XI MA/SMTR Ganjil, (Sragen: CV Akik
Pusaka, 2008), hlm.4
[5]
Heri sudarsono,
konsep ekonomi islam (yogyakarta :ekonosia,2004), 79-82.
[6] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003), hlm.15
[7] Nur
Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010),
[8]Secara
etimiogi, muzara’ah diambil dari kata az-zar yang berarti menaburkan benih ke dalam tanah atau
menanam. Baca Muhammad Ibn Abu Bakar al-Razi Mukhtar al-Shilah, (Kairo: tt),
hlm.114
[9] Mudharabah
yakni seluruh modal datang dari pemilik, sementara pengairan, pemupukan, dan
perawatannya dikerjakan oleh penggarap.
[10] M.Qurays
Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad, (Tangerang: Lentera Hati, 2014) hlm.67-68
Komentar
Posting Komentar